Sabtu, 15 Februari 2020

Batuan Dalam Analisa Kemantapan Lereng




1. PENDAHULUAN


Kemantapan lereng di tambang terbuka seringnya dievaluasi dengan metoda keseimbangan batas. Ada empat parameter yang perlu diperhatikan dalam perancangan kemantapan lereng di tambang terbuka, yaitu rencana penambangan, kondisi struktur geologi, sifat-sifat fisik dan mekanik material pembentuk lereng dan tekanan air tanah. Dari ke-empat parameter tersebut, struktur geologi merupakan parameter yang paling dominan dalam mengontrol kemantapan lereng batuan baik dari bentuk maupun arah longsoran lereng.

Dengan menggunakan metoda keseimbangan batas, kemantapan lereng dapat dievaluasi dengan metoda analitik dan empirik. Walaupun metoda analitik  sudah banyak diterima oleh kalangan akademik dan praktisi, metoda ini masih mempunyai suatu kekurangan, karena analitik biasanya menggunakan beberapa asumsi seperti;
     massa batuan dianggap homogen,
     isotropik
     elastik
     brittle
     patahan dianggap sebagai bidang geser ideal
     beban yang bekerja hanya beban gravitasi, setelah material runtuh segmen bidang longsor dianggap sebagai kekar baru.

Maka jelas disini bahwa metoda analitik tidak memperhatikan parameter massa batuan yang sebetulnya berubah secara vertika dan horizontal. Dalam upaya memperhitungkan faktor-faktor tersebut dan pengaruh peledakan saat penggalian massa batuan, klasifikasi massa batuan yang sudah banyak dipakai dalam peracangan kestabilan lubang bukaan bawah juga sudah mulai diadopsi pada perancangan kemantapan lereng baik untuk pekerjaan sipil maupun tambang.

Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini sudah banyak usulan atau modifikasi klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan untuk merancang kemantapan lereng. Pada umumnya klasifikasi tersebut mencoba menghubungkan parameter sudut kemantapan lereng dengan bobot klasifikasi massa batuan untuk berbagai tinggi lereng. Romana (1985 & 1991) menekankan deskripsi detil dari kekar untuk melihat potensi kelongsorannya dan pengaruh cara penggalian terhadap kemantapan lereng.

Pembuatan klasifikasi massa batuan untuk kemantapan lereng didasarkan atas studi kasus di Afrika Selatan, Selandia Baru, Antartika, Scotlandia dan Spanyol dan hanya beberapa saja yang melibatkan data dari Australia.


2. KARAKTERISTIK UMUM KLASIFIKASI MASSA BATUAN


Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan;
   Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi perilaku massa batuan.
   Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku sama menjadi kelas massa batuan.
   Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas massa batuan.
   Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan lokasi lainnya.
   Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering)
   Memberikan dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan.

Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut;
   Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.
   Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan
   Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah
   Pembobotan dilakukan secara relatif
   Menyediakan data-data kuantitatif

Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak tiga keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng yaitu;
   Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan minimum sebagai parameter klasifikasi.
   Memberikan informasi/data kuantitatif untuk tujuan rancangan
   Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada suatu prooyek.

Beberapa klasifikasi massa batuan yang banyak dipakai atau modifikasi untuk kepentingan kemantapan lereng antara lain;
     Rock Mass Rating (RMR, Bieniawski, 1973 & 1989)
     Rock Mass Strength (RMS, Selby, 1980)
     Slope Mass Rating (SMR, Romana, 1985 & 1991)








3. Rock Mass Rating - Bieniawski


Rock Mass Rating (RMR) disebut juga Geomechanics Classification dibuat oleh Bieniawski (1973). Klasifikasi ini sudah dimodifikasi beberapa kali sesuai dengan adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan sesuai dengan standard Internasional. RMR terdiri dari enam parameter untuk mengklasifikasi massa batuan (lihat Tabel 1) yaitu, UCS, RQD, jarak kekar (discontinuity), kondisi kekar, kondisi air tanah dan orientasi kekar

Tabel 1      Rock Mass Rating (Bieniawski, 1989)

A.  Parameter klasifikasi dan bobot
Parameter

Selang pembobotan

1
Kuat tekan
PLI   (MPa)
> 10
4 - 10
2 - 4
1 - 2
Gunakan nilai UCS

batuan utuh
UCS (MPa)
> 250
100 - 250
50 - 100
25 - 50
5-25
1-5
<1

Bobot
15
12
7
4
2
1
0
2
RQD (%)
90 - 100
75 - 90
50 - 75
25 - 50
< 25

Bobot
20
17
13
8
3
3
Jarak kekar
> 2 m
0.6-2 m
0.2-0.6 m
0.06-0.2 m
< 0.06 m

Bobot
20
15
10
8
5
4
Kondisi kekar

muka sgt kasar, tak menerus, tak terpisah, dinding tak lapuk
muka agak kasar pemisahan< 1 mm, dinding agak lapuk
muka agak kasar pemisahan< 1 mm, dinding sangat lapuk
muka slikensided gouge < 5 mm, pemisahan 1-5 mm, menerus
gouge lunak > 5 mm pemisahan > 5 mm, menerus

Bobot
30
25
20
10
0


Aliran per 10 m panjang singkapan (Lt/men)
kosong
< 10
10 - 25
25 - 125
> 125

5
Air tanah
Tekanan air/tegangan utama major
0
< 0.1
0.1 - 0.2
0.2 - 0.5
> 0.5



Kondisi umum
Kering
Lembab
Basah
Netes
Mengalir

Bobot
15
10
7
4
0
B. Penyesuaian bobot untuk orientasi kekar
Strike & dip
Sangat menguntungkan
Menguntung-kan
Sedang
Tak menguntungkan
Sangat tak menguntungkan

Tunnel
0
- 2
- 5
- 10
- 12
Bobot
Fon-dasi
0
- 2
- 7
- 15
- 25

Le-reng
0
- 5
- 25
- 50
- 60

C. Kelas massa batuan menurut bobot total
Bobot
100 - 81
80 - 61
60 - 41
40 - 21
< 20
No. Kelas.
I
II
III
IV
V
Deskripsi
Batu
sangat baik
Batu
baik
Batu
sedang
Batu buruk
Batu
sangat buruk

D. Arti kelas massa batuan
No. Kelas
I
II
III
IV
V
Stand up time rata-rata & span
20 th, 15 m
1 th, 10 m
1 minggu,  5 m
10 jam,   2.5 m
30 menit, 1 m span
Kohesi massa batuan (kPa)
> 400
300 - 400
200 - 300
100 - 200
< 100
Sudut gesek dalam massa batuan
> 450
35 0- 450
25 0- 350
150 - 250
< 15


Parameter-parameter ini selanjutnya disatukan menjadi lima grup, dan karena beberapa parameter tidak mempunyai kepentingan yang sama terhadap bobot total dari RMR, maka pembobotan untuk setiap parameter berbeda. Bobot tinggi menunjukkan kualitas massa batuan yang lebih baik.
Karena isian kekar bisa terdiri dari kuarsa, lempung, karbonat, kaolin, khlorit atau sedimen dan kekasarannya juga berbeda maka evaluasi kondisi kekar harus mengikuti standard yang sudah ada, yang diberikan oleh ISRM (1981) seperti ditunjukkan pada Gambar 1.


Gambar 1      Tipikal profil kekasaran kekar dan rekomendasi penamaannya (ISRM, 1981). Panjang profil antara 1 hingga 10 m; skala vertikal dan horizontal samas


Kondisi air tanah yang ditemukan pada survey kekar harus diidentifikasi sesuai dengan penjelasan pada Tabel 1 yaitu, kering (completely dry), lembab (damp), basah (wet), menetes (dripping) dan mengalir (flowing). Pengaruh orientasi kekar terhadap arah penggalian dievaluasi dengan cara mencari arahan umum kekar pada proyeksi stereonet dan pembobotannya disesuaikan dengan penjelasan pada Tabel 1.





4. KLASIFIKASI MASSA BATUAN UNTUK KEMANTAPAN LERENG


Agar mendapatkan persamaan pendapat mengenai parameter-parameter yang sering digunakan untuk persoalan kemantapan lereng Gambar 2 memperlihatkan bagian dari parameter tersebut.


Gambar 2      Parameter lereng


Steffen (1976) menggunakan nilai rata-rata kohesi dan sudut gesek dalam yang diberikan dari RMR untuk mengevaluasi kemantapan dari 35 lereng yang diduga mengikuti longsoran busur. Menurut hasil penelitiannya ternyata bahwa lereng yang mempunyai Faktor Keamanan (FK) hingga 1.2 longsor, sedangkan lereng yang mempunyai nilai FK 0.7, yang dihasilkan dari perhitungan metoda keseimbangan batas, tetap mantap (lihat Gambar 3). Jelas disini bahwa metoda statistik diperlukan untuk menduga kemantapan suatu lereng saat menggunakan cara klasifikasi massa batuan sebagai masukan data.

Bieniawski pada saat membuat RMR tidak bermaksud untuk digunakan pada evaluasi kemantapan lereng. Alasannya mungkin karena tingginya bobot pengatur orientasi kekar, yaitu bervariasi dari 60 hingga 100.

Gambar 3      Distribusi  frekuensi kemantapan lereng longsoran busur menurut grafik Hoek (Steffen, 1976).


Untuk menggunakan RMR penentuan bobot pengatur orientasi kekar memerlukan pengertian sifat-sifat kekar yang ada pada massa batuan dimena lereng dibentuk. Maka dalam menggunakan klasifikasi massa batuan untuk evaluasi kemantapan lereng harus memperhatikan berbagai model longsoran yang tentunya diatur oleh karakteristik kekar. Dasar kelongsoran lereng akibat kekar dapat dijelaskan sebagai (lihat Gambar 4);
a.   Longsorang busur (tipikal longsoran tanah) : kekar menerus sepanjang sebagian lereng menyebabkan longsoran geser permukaan, massa batuan sangat terkekarkan atau tanah
b.   Longsoran bidang : kemiringan bidang kekar rata-rata hampir atau searah dengan kemiringan lereng, fenomena ini tak berlaku untuk massa batuan skistos
c.   Longsoran baji : garis perpotongan dua bidang kekar mempunyai kemiringan ke arah kemiringan lereng (lihat Gambar 5)
d.   Longsoran topling : massa batuan terdiri dari kekar-kekar kolum agak tegak dan bila terjadi pada massa batuan kuat, rekahan tarik akan melendut terus dan miring ke arah kemiringan lereng

Gambar 4      Tipe-tipe utama longsoran pada massa batuan menurut kriteria geologi struktur  dan stereonet (Hoek & Bray, 1981).
Garis putus-putus dari lingkaran utama mewakili bidang kekar rata-rata yang tersingkap pada muka lereng; garis menerus lingkaran utama  mewakili bidang muka lereng.
Maka untuk menyertakan bobot pengatur orientasi kekar Romana (1980) memodifikasi RMR yang disebut Slope Mass Rating (SMR). Berdasarkan pengamatan Romana pada 28 lereng dengan berbagai derajat potensi kelongsoran, ditemukan bahwa 6 lereng longsor. SMR pada dasarnya tidak memperhatikan kelongsoran tanah dan longsoran baji secara langsung, dan didefiniskan sebagai, 
SMR = RMR - (F1 x F2 x F3) + F4
Nilai RMR diperoleh dari perhitungan bobot menurut klasifikasi RMR dan pengertian serta besarnya bobot F1, F2, F3 dan F4  diberikan berikut ini pada Tabel 2.

Gambar 5      Kriteria longsoran baji (Hoek & Bray, 1981)
1.  Longsoran sepanjang perpotongan bidang A dan B bisa terjadi bila kemiringan garis potong ini lebih kecil daripada dip muka lereng, yang diukur sesuai dengan arah longsoran, yf >yi 
2.  Longsoran diasumsikan terjadi bila kemiringan garis perpotongan melebihi sudut gesek dalam, yf > yi > f 
F1 tergantung pada paralelisme antara kekar dan kemiringan muka lereng (strike)
F2 berhubungan dengan sudut dip kekar pada longsoran bidang
F3 menunjukkan hubungan antara kemiringan lereng dan kemiringan kekar
F4 tergantung pada kondisi apakah lereng alamiah, digali dengan peledakan presplit, peledakan smooth, penggalian mekanis atau peledakan buruk


Tabel 2      Bobot pengatur untuk kekar, F1, F2 dan F3 (Romana, 1980)

Kasus
Kriteria faktor koreksi
Sangat me-nguntungkan
Menguntung-kan
Sedang
Tak mengun-tungkan
Sangat tak menguntungka
P
|aj - as|
> 30
30 - 20
20 - 10
10 - 5
< 5
T
|aj - as - 180|





P/T
F1
0.15
0.40
0.70
0.85
1.00
P
|bj|
< 20
20 - 30
30 - 35
35 - 45
> 45
P
F2
0.15
0.40
0.70
0.85
1.00
T
F2
1
1
1
1
1


kuat tak mudah longsor



lemah mudah longsor
P
bj - bs
> 10
10 - 0
0
0 - (-10)
< -10
T
bj + bs
< 100
110 - 120
> 120


P/T
F3
0
-6
-25
-50
-60
aj = Arah dip kekar                    as = Kemiringan lereng  bj = Dip kekar    bs = Dip lereng
P = Longsoran bidang   T = Longsoran  topling


Bobot pengatur untuk metoda penggalian, F4 :
Lereng alamiah                    = 15
Peledakan presplitting        = 10
Peledakan smooth   = 8
Peledakan normal   = 0
Peledakan buruk     = -8
Penggalian mekanis           = 0

Swindells (1985) melakukan penelitian mengenai pengaruh peledakan pada kemantapan 16 lereng di Scotlandia. Hasil penyelidikannya menunjukkan bahwa tingkat tebal atau kedalaman kerusakan lereng dipengaruhi oleh metoda penggalian yang dipakai (lihat Tabel 3).
Tabel 3      Bobot pengatur Swindells SMR (Swindells, 1985)

Metoda penggalian
No
Tebal/kedalaman kerusakan
SMR


Selang (m)
Rata (m)
F4
Lereng alamiah
4
0
0
15
Peledakan presplitting
3
0 - 0.6
0.5
10
Peledakan smooth
2
2 - 4
3
8
Peledakan masal
3
3 - 6
4
0


Hasil penyelidikan Swindell menunjukkan kesamaan umum antara tebal/kedalaman zone kerusakan dengan faktor koreksi F4 menurut Romana.

Dari penjelasan di atas tampak bahwa tidak ada faktor khusus untuk penentuan kemantapan lereng menurut longsoran baji. Maka untuk menganalisis longsoran baji adalah dengan cara menghitung RMR untuk masing-masing sistem kekar. Cara langsung penentuan kemantapan lereng menurut longsoran baji dapat menggunakan metoda Hoek & Bray (1981). Cara ini menggunakan analisis stereonet.

Pada tahun 1980 Selby melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara kekuatan massa batuan profil singkapan dan kemiringan lereng di Antartika dan Selandia Baru. Dia menekankan pada derajat pelapukan dan orientasi kekar untuk membuat Klasifikasi Kekuatan Massa Geomorfik yang tujuannya untuk meramalkan kemantapan lereng dan disebut sebagai Rock Mass Strength (RMS). Dari 300 macam massa batuan penelitiannya menghasilkan bobot numerik maksimum untuk parameter-parameter yang berpengaruh pada kemantapan lereng yang ditunjukkan pada Tabel 4 dan 5, sebagai alternatif dari RMR.





Tabel 4      Bobot numerik maksimum untuk parameter klasifikasi RMS (Selby, 1980 ).

Batuan utuh
20
18
14
10
5
Pelapukan
10
9
7
5
3
Jarak kekar
30
28
21
15
8
Orientasi kekar
20
18
14
9
5
Lebar kekar
7
6
5
4
2
Kemenerusan kekar
7
6
5
4
1
Aliran air tanah
6
5
4
3
1

Sangat kuat
Kuat
Sedang
Lemah
Sangat lemah
Bobot total
100-91
90-71
70-51
50-26
<26


Tabel 5           Bobot dan klasifikasi Geomorphic rock mass strength (Selby, 1980)

Kelas
1
2
3
4
5
Parameter
Sangat kuat
Kuat
Sedang
Lemah
Sangat lemah
Kekuatan batu utuh
100 - 60
60 - 50
50 - 40
40 - 35
35 - 10
Schmidt hammer
r : 20
r : 18
r : 14
r : 10
r : 5
Pelapukan
tak lapuk
agak lapuk
lapuk
sangat lapuk
total lapuk

r : 10
r : 9
r : 7
r : 5
r : 3
Jarak kekar
> 3 m
r : 30
3 - 1 m
r : 28
1 - 0.3 m
r : 21
300 - 500 mm
r : 15
< 50 mm
r : 8
Orientasi kekar
sangat menguntung-Kan. curam searah leereng, kekar saling kunci
menguntung-kan miring sedang searah lereng

sedang. horizontal, hampir tegak (batu keras)
tak menguntung-kan. sedang, miring tak searah lereng
sangat tak menguntung-kan. curam tak searah lereng

r : 20
r : 18
r : 14
r : 9
r : 5
Lebar kekar
< 0.1 mm
r : 7
0.1 - 1 mm
r : 6
1 - 5 mm
r : 5
5 - 20 mm
r : 4
> 20 mm
r : 2
Kemenerusan kekar
tak ada, menerus
beberapa menerus
menerus  tak ada isian
menerus, isian tipis
menerus, isian tebal

r : 7
r : 6
r : 5
r : 4
r : 1
Aliran air
kering
sangat kecil
kecil < 25 Lt/men/m2
sedang 25 - 125 Lt/men/m2
besar > 125 Lt/men/m2

r : 6
r : 5
r : 4
r : 3
r : 1
Bobot total
100 - 91
90 - 71
70 - 51
50 - 26
< 26


Dengan menggunakan data Selby, Moon (1984) memasukkan garis Batas Kepercayaan Statistik 90% pada garis regresi yang menghubungkan antara parameter sudut lereng dan kekuatan massa batuan yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6      Hubungan antara sudut lereng dengan RMS (Moon, 1984)


Dengan menggunakan batasan bahwa RMR lebih besar dari 20 dan tinggi lereng lebih dari 20 m, Hall (1985) memberikan persamaan untuk menduga sudut lereng mantap yang digali bagi jalur kereta api di Afrika Selatan,
Sudut lereng = 0.65 RMR + 25

Tabel 6           Deskripsi RMR

RMR
Kelas
Deskrpsi
< 20
V
Batuan sangat buruk
21 - 40
IV
Batuan buruk
41 - 60
III
Batuan sedang
61 - 80
II
Batuan baik
> 80
I
Batuan sangat baik
Menurut Robertson (1988) bila RMR lebih besar dari pada 40, kemantapan lereng dikontrol oleh orientasi dan kekuatan bidang kontak kekar. Sedangkan bila RMR lebih kecil daripada 30 kelongsoran lereng dapat terjadi pada sembarang orientasi kekar.

Orr (1992) menggunakan hubungan RMR dan RMS untuk membuat grafik RMR dengan sudut lereng mantap (lihat Gambar 7). Selanjutnya dia juga membuat persamaan sudut lereng mantap yang merupakan fungsi dari RMR, pada kondisi RMR diantara 20 dan 80.

Sudut lereng = 35 ln (RMR) - 71
Untuk 20 < RMR < 80.

Gambar 7         Hubungan antara RMR dengan sudut lereng (Orr, 1992)


EmoticonEmoticon